HTBS 2019, Penekanan Angka Tuberculosis (TB) oleh Seluruh Elemen Masyarakat


FKM NEWS-Tuberculosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di dunia. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Berdasarkan laporan WHO tahun 2017, diperkirakan ada 1,02 juta kasus TB di Indonesia, namun baru terlapor ke Kementerian Kesehatan sebanyak 0,42 juta kasus.

Dengan permasalahan tersebut, maka Hari Tuberculosis Sedunia (HTBS) tahun 2019 mengangkat tema secara Global yakni “Its time”, sejalan dengan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Indonesia mengambil tema peringatan HTBS tahun 2019 yaitu “Saatnya Indonesia Bebas TBC, Mulai dari Saya” dengan aksi: Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS TBC). Deteksi dini dan pencegahannya.

Pemerintah telah banyak menyoroti program dalam penekanan angka TB di Indonesia dari tahun-ke tahun, dengan cita Indonesia bebas TB tahun 2030. Namun, kurangnya kesadaran masyarakat menjadi faktor utama penghambat dalam penekanan kasus TB di Indonesia.

Bertepatan dengan HTBS, dosen Epidemiologi Penyakit Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Prof., Dr. Chatarina Umbul Wahyuni dr., M.S., M.P.H. mengatakan, permasalahan TB belum habis, banyak faktor yang mempengaruhi seperti usaha penemuan kasus belum maksimal dan ketidakpatuhan masyarakat yang terkena TB untuk meminum obat secara rutin, sehingga menyebabkan resistan terhadap obat tersebut atau biasa dikenal dengan istilah MDR.

“Faktor itu yang seharusnya  cepat untuk diidentifikasi. Penemuan kasus TB sudah dicoba melalui penelitian dan pemberdayaan masyarakat, seperti pembentukan kader dan pelatihan untuk memahami gelaja dini TB. Hal ini diharapkan supaya kader dapat menangkap masyarakat yang dicurigai atau berisiko,” ungkapnya.

“Setelah ditangkap, dilanjutkan dengan pemeriksaan apakah masyarakat tersebut positif TB atau negatif. Namun permasalahan juga sering terjadi di pelayanan kesehatan yang kurang memadai, karena permasalahan itu saling berkorelasi dan berkelanjutan,” tambahnya.

Chatarina juga menjelaskan bahwa sudah banyak penelitian dan pelatihan dilakukan, seperti penelitian dan pemberdayaan oleh mahasiswa, pelatihan pada kader, dokter swasta, dan bidan desa. Namun, hasilnya seringkali tidak diimplementasikan secara maksimal.

“Melakukan skrinning sangat efektif untuk dilakukan, terutama pada orang yang berisiko tinggi seperti penderita HIV dan masyarakat daerah kumuh. Namun alangkah lebih baik, jika melakukannnya juga pada orang yang tidak diduga, seperti pada orang tua. Karena TB bisa terjadi pada siapapun,” sambungnya.

Seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam penekanan angka TB, tidak hanya pemerintah namun juga dinas sosial. Seluruh masyarakat dapat berisiko terkena TB, oleh karena itu pengetahuan, kesadaran, dan paham akan TB sangat diperlukan.

Diakhir Chatarina berpesan kepada masyarakat bahwa, jangan hanya tau permasalahan TB, namun juga harus tau gejala indikasi, pencegahan, dan adanya kesadaran diri untuk periksa ke pelayanan kesehatan. Masyarakat tidak perlu takut dan malu karena sebenarnya TB dapat sembuh total.

Penulis : Ulfah Mu’amarotul Hikmah

Editor: Ilham Akhsanu Ridlo