Bagaimana Lansekap Penerapan Akses Terbuka pada Penerbitan Ilmiah di Indonesia?

Meskipun tidak ada tekanan pendanaan yang secara eksplisit mengamanatkan peralihan ke akses terbuka (open access – OA), Indonesia adalah negara yang terdepan dalam penerbitan OA. Indonesia menerapkan model OA nirlaba, yang berbeda dari model yang dipromosikan oleh kebijakan Plan S di Uni Eropa. Penetrasi sistem bibliometrik penilaian kinerja akademik mendorong para peneliti di Indonesia menjauh dari model OA nirlaba lokal ke model berbasis publikasi berbiaya tinggi. Artikel kami membahas apakah Plan S mempromosikan atau justru merugikan para peneliti Indonesia untuk mengembangkan sistem OA yang disesuaikan dengan kendala terbatasnya sumber daya lokal dan kebutuhan penelitian.

Indonesia adalah pendukung utama akses terbuka (OA), peringkat kedua setelah Inggris untuk jumlah jurnal OA yang terdaftar di Directory of Open Access Journals (DOAJ). Pada tahun 2020, Indonesia menerbitkan jurnal OA terbanyak di dunia (Irawan et al., 2020a). Banyak yang akan terkejut melihat bahwa jumlah jurnal OA di negara-negara dengan budaya riset yang berkembang, seperti Indonesia dan Brasil, jauh lebih tinggi daripada di banyak negara OECD terkemuka, seperti Amerika Serikat dan Jerman, menurut artikel di Nature, ‘Indonesia may be the world’s OA leader‘ (Van Noorden, 2019).

Pada 2017, 74 persen artikel yang diterbitkan dengan penulis yang berafiliasi dengan Indonesia adalah OA, dibandingkan dengan hanya 60 persen di Inggris, dan rata-rata global 41 persen (ibid., Pashaei dan Morrison, 2019a). Namun, sebagian besar jurnal Indonesia diterbitkan oleh universitas dan mengandalkan pendanaan institusional, sehingga memunculkan model OA yang tidak bergantung pada biaya pemrosesan artikel (APC) atau biaya berlangganan (Copiello, 2020; Tennant, 2019). Ini serupa dengan model OA yang digunakan di banyak negara global south lainnya, seperti Amerika Latin, yang mewakili pendekatan nonprofit untuk OA yang lebih adil dan berkelanjutan untuk negara berpenghasilan rendah dan menengah yang terbatas sumber dayanya.

Sebagian besar jurnal Indonesia dikelola oleh universitas, lembaga penelitian dan asosiasi profesi, dan hampir semuanya OA. Indonesia memiliki 1.598 jurnal yang terdaftar di DOAJ yang menerbitkan dalam bahasa Arab dan Indonesia, tetapi juga dalam bahasa Inggris (Houissa, 2020). Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa 75 persen jurnal Indonesia tidak mengenakan biaya APC, dan sisanya mengenakan biaya yang sangat rendah, menghasilkan APC rata-rata US $ 79, dibandingkan dengan rata-rata lebih dari US $ 1.500 di AS dan Inggris, dan lebih dari US $ 1.000 di negara-negara Eropa Barat lainnya (Pashaei dan Morrison, 2019b).

Meskipun jumlah jurnal OA tinggi dan APC rendah atau tidak ada sama sekali, kinerja Indonesia relatif lebih buruk dibandingkan negara-negara tetangga ASEAN terkait dengan jumlah publikasi di jurnal terindeks internasional yang dalam konteks ini mengacu pada publikasi di jurnal top-tier. Pada tahun 2017, kinerja penelitian para peneliti Indonesia menduduki peringkat ke-57 dalam indeks SCImago Journal & Country Rank, di bawah Malaysia dan Thailand, masing-masing berada di peringkat ke-35 dan ke-43.1 Sejak tahun 2016, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai langkah berbasis metrik baru untuk meningkatkan peringkat akademik dan visibilitas luaran penelitian di Indonesia.

Terlepas dari banyaknya jurnal OA dalam negeri yang mempublikasikan karyanya, para peneliti Indonesia diwajibkan untuk menerbitkan karyanya di jurnal yang terindeks di basis data “bergengsi”, dalam mengejar faktor dampak yang lebih tinggi dan kutipan untuk memenuhi kriteria penilaian akademis. Scopus dan Web of Science diklasifikasikan oleh pemerintah sebagai lebih bereputasi dibandingkan indeks publikasi Indonesia (Irawan et al., 2018). Namun kendala bahasa, serta pendanaan penelitian dan fasilitas laboratorium yang tidak memadai menyulitkan banyak peneliti Indonesia untuk mendapatkan akses ke platform pengindeksan berperingkat tinggi, seperti Scopus, yang tidak mengindeks jurnal berbahasa Indonesia (Sofyani et al., 2019).

Para peneliti yang berhasil menerbitkan di jurnal internasional berperingkat tinggi memanfaatkan dana publik untuk membiayai biaya APC yang tinggi. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata APC di jurnal berbahasa Indonesia berjumlah US$ 43, sedangkan rata-rata APC di jurnal berbahasa Inggris adalah US$ 1.096 (Pashaei dan Morrison, 2019b). Karena kriteria penilaian kualitas menekan para peneliti Indonesia untuk menerbitkan di jurnal berbahasa Inggris peringkat lebih tinggi yang terdaftar dalam indeks bergengsi, semakin banyak sumber daya negara mengalir ke penerbit komersial, daripada meningkatkan fasilitas penelitian akademis lokal dan kualitas penelitian dari bawah.

Indonesia dan negara global south lainnya “dipaksa” menjadi pengikut kebijakan OA yang diterapkan di negara-negara maju. Saat ini, globalisasi penelitian dan pendidikan tinggi mendorong penerapan kriteria dan indikator yang seragam untuk produktivitas, kualitas dan dampak penelitian, daripada mempromosikan model OA yang beragam yang disesuaikan dengan sumber daya lokal dan kebutuhan penelitian. Dengan standar kualitas OA yang didasarkan pada beberapa metrik, Plan S hanya akan semakin memperkuat argumen yang menghubungkan penelitian berkualitas dengan biaya APC tinggi. Ini bertentangan dengan semangat Gerakan Sains Terbuka Indonesia yang memprioritaskan kemandirian penelitian, mempromosikan pengetahuan sebagai kebaikan bersama daripada sebagai sumber keuntungan pribadi, dan penggunaan dana publik untuk memperkuat ekosistem penelitian lokal.

Irawan, D. E., Abraham, J., Zein, R. A., Ridlo, I. A., & Aribowo, E. K. (2021). Open Access in Indonesia. Development and Change. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/dech.12637

Dimuat ulang dari: http://news.unair.ac.id/2021/03/23/bagaimana-lansekap-penerapan-akses-terbuka-pada-penerbitan-ilmiah-di-indonesia/