FKM NEWS – Peneliti dan komunitas olahraga mengakui bahwa faktor genetik berkontribusi pada kinerja atletik. Pada tahun 2009, lebih dari 200 varian genetik telah dikaitkan dengan kinerja fisik. Lebih dari 20 varian dikaitkan dengan status atlet. Tantangan utama ketika mencoba menggambarkan pengaruh faktor genetik pada kinerja atlet adalah sifat multifaktorialnya, mengingat banyaknya sistem tubuh yang harus berinteraksi seperti kardiovaskular, pernapasan, saraf, dan lain sebagainya. Perbedaan mencolok antara atlet dari spesialisasi yang berbeda dalam morfologi tubuh adalah tinggi dan komposisi tubuh serta tipe tubuh tertentu yang secara alami cocok untuk olahraga tertentu. Namun, di luar morfologi tubuh, terdapat beberapa faktor seperti daya tahan dan kekuatan yang dapat menjadi faktor utama yang mendasari performa atlet. Setiap olahraga memiliki persyaratan fisik yang unik dan persyaratan ini dapat sangat berbeda antara tiap cabang olahraga. Oleh karena itu, setiap studi tentang pengaruh genetik pada kinerja atlet harus mempertimbangkan komponen kinerja yang paling cocok untuk olahraga yang diminati. Salah satu gen yang dapat meningkatkan performa atau kinerja atlet adalah Angiotensin Converting Enzyme (ACE) dengan genotype ACE I/D.
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) adalah enzim dalam sintesis angiotensin II yang dapat mengubah dekapeptida tidak aktif angiotensin I, menjadi hormon tekanan oktapeptida kuat, angiotensin II. Enzim pengubah angiotensin (ACE), yang dikodekan oleh gen ACE, adalah protease katalitik utama dalam sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang mengubah angiotensin (Ang) I menjadi II (Fazalet al., 2015). Pada penelitian yang dilakukan oleh Papadimitriou et al. BMC Genomics (2016) ditemukan adanya hubungan gen ACE I/D dengan performa daya tahan atlet lari cepat. Subjek dari penelitian merupakan pelari cepat terbaik pada jarak 100 m, 200 m, dan 400 m ras Caucasian dan beberapa merupakan garis keturunan Afrika dengan genotipe ACE I/D. Hasil yang didapatkan adalah gen ACE I/D dapat meningkatkan performa atlet lari cepat dengan jarak 200 m dan 400 m lebih baik daripada atlet lari cepat jarak 100 m. Hal ini diduga karena adanya perbedaan pada performa fisiologis, yaitu pada metabolisme otot (peralihan dari P/Cr ke sistem anaerobik laktat) dengan kontraksi kuat yang berulang.
ACE merupakan peptidase nonspesifik yang dapat membelah dipeptida terminal-C dari berbagai peptida. ACE terutama terlokalisasi di sisi luminal dari endotel vaskular. Paru-paru memiliki permukaan endotel vaskuler yang luas, kaya akan ACE. Selain itu, ACE juga terdapat pada organ lain termasuk ginjal, jantung, otak, dan kulit otot lurik, karena merupakan bagian dari RAAS lokal (Kaschina, Steckelings, & Unger, 2018). ACE dapat berperan dalam pengaturan tekanan darah serta dapat mempengaruhi fungsi otot rangka. Alel ACE D biasanya berkaitan dengan tingginya aktivitas ACE, sehingga berpotensi menghasilkan tingkat angiotensin II yang tinggi. Namun, jika sistem renin angiotensin terlalu berlebihan dapat menyebabkan tekanan darah tinggi (Sanders, 2020). Oleh karena itu, diperlukan adanya nutrisi berbasis genomik dapat meningkatkan pengetahuan untuk melakukan diet dan pemilihan gaya hidup yang mungkin dapat mengubah kerentanan terhadap penyakit dan meningkatkan potensi kesehatan (Kato, 2008). Pada atlet, nutrigenomik juga dapat bermanfaat untuk mengoptimalkan kinerja gen yang dimiliki tiap atlet. Beberapa sumber bahan pangan yang dapat menghambat atau menurunkan aktivitas ACE adalah jahe, jambu, delima, dan minyak zaitun. Sehingga pemberian bahan makanan tersebut perlu diperhatikan dalam diet atlet, khususnya cabang olahraga yang membutuhkan peran ACE dalam peningkatan performa.
Penulis : Fina Intan Puspita
Editor : Diah Khrisma Putriana