Namun sejatinya respon semacam ini bukanlah hal baru dalam setiap pelaksanaan program vaksinasi. Beragam alasan penolakan tersebut pada Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2018, menyebabkan cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada anak berusia 12-23 bulan hanya sebesar 57,9 persen. Cakupan ini turun dibanding lima tahun tahun lalu yaitu 59,2 persen (Riskesdas, 2018).
Pekerjaan besar yang segera harus segera dibereskan pemerintah adalah memastikan keamanan dan keampuhan vaksin dengan mematuhi secara disiplin serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh BPOM. Berkaitan dengan isu kehalalan vaksin; Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan vaksin Coronavac suci dan halal, berdasarkan sidang tertutup yang diselenggarakan kemarin (8/1). Tentu keputusan MUI akan menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap program vaksinasi. Karena apabila sertifikasi halal tidak diraih, maka persoalan kehalalan akan menjadi apologi bagi sebagian orang untuk menolak program vaksinasi.
Manfaat Vaksinasi
Hubungan antara kesehatan dan pembangunan ekonomi merupakan perdebatan yang sejak awal mulainya pandemi menjadi intens didiskusikan oleh para peneliti kebijakan kesehatan. Pandemi Covid-19 seharusnya menjadi pengingat bagi pemimpin negara tentang mengenai pentingnya, baik pembangunan kesehatan maupun ekonomi.
Status kesehatan yang lebih baik telah mendorong pertumbuhan ekonomi global selama seabad terakhir dengan memperbesar angkatan kerja dan peningkatan produktivitas. Fakta ini juga diakui oleh sejarawan ekonomi yang memperkirakan bahwa peningkatan kesehatan menyumbang sekitar sepertiga dari keseluruhan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita negara maju dalam satu abad terakhir (Arora, 2001).
Apabila kita menggunakan kacamata kebijakan kesehatan; vaksinasi merupakan salah satu proses penting dalam mencegah keluarnya biaya yang tidak efisien (inefficient cost). Namun tentu saja dengan memastikan derajat efikasi dan keamanan vaksin itu sendiri. Dalam konteks pandemi, vaksinasi merupakan salah satu intervensi untuk mencegah tingginya tingkat mortalitas dan kecacatan yang mungkin diderita paska infeksi.
Oleh karena itu, program vaksinasi, dalam jangka panjang, akan memberikan manfaat; yaitu negara terhindar dari pengeluaran yang tidak perlu untuk merawat pasien yang sakit (treatment cost). Prinsip ini yang dikenal dengan istilah eksternalitas positif.
Vaksinasi Covid-19 memang bukan satu-satunya intervensi dalam penanganan pandemi. Langkah ini juga harus dibarengi dengan menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjauhi kerumunan (3M). Dan dibarengi dengan melacak, mengetes, dan merawat (TLI) serta kebijakan pengendalian mobilitas penduduk.
Vaksinasi membutuhkan dukungan semua pihak agar mencapai cakupan imunitas yang diharapkan sehingga kekebalan kawanan (herd immunity) yang diinginkan dapat tercapai. Oleh karena itu, imunisasi tidak hanya sekedar melindungi kelompok tertentu atau individu tertentu saja, namun punya amplifikasi efek positif yang cukup besar masyarakat luas.
Butuh Dukungan Semua Pihak
Dukungan terhadap program vaksinasi Covid-19 amat dibutuhkan agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Termasuk dukungan berupa sosialisasi status suci dan halal yang sudah ditetapkan oleh MUI dari ormas-ormas Islam. Mengingat beberapa penolakan seringkali berkelindan dengan alasan status kehalalan vaksin.
Meskipun pada tahun 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat mengeluarkan fatwa yang menyebutkan bahwa imunisasi hukumnya wajib apabila dapat berpotensi menyebabkan kematian, penyakit berat dan kecacatan permanen, kehalalan vaksin perlu disosialisasikan agar mengurangi resistensi. Ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama juga telah secara terbuka mendukung program vaksinasi dengan mempertimbangkan derajat urgensitasnya.
Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab untuk meyakinkan masyarakat adalah apakah Coronavac benar-benar aman dan efektif. Saat ini, vaksin Coronavac sedang dalam proses observasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memastikan keamanan dan efektifitas vaksin tersebut. Hasil observasi tersebut akan menjadi dasar dalam menentukan ijin Emergency Use Auhtorization (EUA). Apabila BPPOM telah mengeluarkan ijin tersebut, maka masyarakat tidak perlu ragu lagi untuk berpartisipasi dalam program vaksinasi Covid-19.
Selain membutuhkan dukungan para pihak di luar pemerintah, program vaksinasi tidak boleh menggantikan kampanye 3M, intervensi TLI dan kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat. Hingga terpenuhinya kekebalan kawananpun, perilaku 3M harus menjadi kebiasaan baru sampai pandemi ini dapat benar-benar terkendali. Hal lain yang perlu juga diupayakan pemerintah adalah memastikan kebijakan penanganan pandemi dirumuskan dengan berbasis bukti (evidence-based health policy).
***
Pemerintah harus memahami bahwa di era paska-kebenaran; misinformasi dan disinformasi mengenai vaksin dan program vaksinasi hanya dapat ditangkal apabila pemerintah dan masyarakat sipil. Termasuk akademisi dan tenaga kesehatan bahu-membahu dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah, tenaga kesehatan, dan akademisi harus menerapkan komunikasi sains yang efektif; agar kesenjangan persepsi risiko antara awam dengan ahli dapat dipersempit.
Pemerintah dan akademisi juga seharusnya lebih terbuka, apa adanya, berhati-hati, menjelaskan ketidakpastian, dan menghindari klaim bombastis dalam menjelaskan risiko, inovasi, atau intervensi yang berkaitan dengan pandemi. Tak dapat dipungkiri, komunikasi sains inilah yang menjadi kunci penting keberhasilan penanganan pandemi pada umumnya, dan program vaksinasi pada khususnya.
—
Dimuat ulang dari https://rahma.id/investasi-jangka-panjang-vaksin-covid-19/