Banyak artikel dan kajian yang membahas tentang kerentanan daya dukung fasilitas kesehatan kita selama Pandemi Covid-19 ini. Sebagaian besar bernada sama. Mendorong partisipasi publik agar sistem kesehatan menjadi kuat. Ajakan konkrit untuk melakukan Physical Distancing (menjaga jarak aman), tetap tinggal di rumah jika tidak ada keterdesakan keluar rumah, jika terpaksa keluar menggunakan masker, dan menjaga kebersihan tangan dengan cuci tangan pakai sabun. Ini adalah standar pencegahan yang ampuh melawan laju penyebaran Covid-19.
Secara singkat pemerintah tidak mengambil opsi karantina wilayah, pun juga opsi lockdown. Melalui Permenkes №9/2020 akhirnya pengaturan teknis terkait PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) ditetapkan. Sejak peraturan ini ditetapkan di Jakarta, 10 April 2020 lalu maka otomatis sekolah dan tempat kerja diliburkan, kegiatan umum, sosial, budaya dan keagamaan dibatasi, pembatasan moda transportasi, dan beberapa kegiatan lainnya khusus aspek pertahanan dan keamanan. Namun beberapa layanan penting untuk kepentingan publik dan layanan transportasi umum tetap diperbolehkan dengan pengaturan ketat tentang pengaturan jumlah penumpang dan banyaknya yang diangkut.
Pembatasan Sosial Berskala Besar ini merupakan pilihan sekaligus konsekuensi dari Keputusan Presiden №11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dan juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kekarantinaan kesehatan kemudian dapat dilaksanakan sebagai respon dari kedaruratan kesehatan masyarakat, yang berupa karantina, isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi; pembatasan sosial berskala besar; disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat angkut dan barang; dan/atau penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.
Menilik kebijakan tersebut, maka opsi lockdown tidak masuk dalam skenario kekarantinaan wilayah. Lockdown yang berarti “mengunci” suatu daerah atau kawasan untuk mencegah pergerakan manusia untuk masuk dan keluar. Dalam skenario lockdown orang tidak diperbolehkan masuk atau meninggalkan sebuah bangunan atau gedung, serta kawasan secara bebas karena kondisi yang darurat. Berbeda dengan karantina yang merupakan langkah pemisahan dan pembatasan pergerakan orang yang diduga memiliki kondisi penularan guna melihat apakah terjadi penularan atau tidak. Karantina dalam Pandemi Covid-19 ini sempat dilakukan Pemerintah Pusat dalam merespon WNI yang dipulangkan dari kota asal Virus Corona, Wuhan, China. Ratusan WNI tersebut menjalani karantina di Natuna, Kepulauan Riau.
Terlepas dari pilihan opsi kebijakan yang diambil, sektor informal cukup terpukul. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 mencatat, sektor informal mendominasi jenis pekerjaan di Indonesia. Pada Februari di tahun yang sama tercatat sebanyak 74 juta jiwa dengan usia 15 tahun ke atas bekerja pada sektor ini. Sedangkan pendudukan yang bekerja di sektor formal hanya 55,3 juta jiwa. Ini yang menjadi pilihan sulit bagi pemerintah jika memilih opsi lockdown. Sektor formal pun juga mayoritas di sektor swasta yang sangat punya otonomi penuh dalam sistem pengupahan.
Sejak mengemuka di perbincangan publik perihal pemberlakuan opsi lockdown, opsi ini nyatanya memang tidak dipilih. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Doni Monardo menjelaskan bahwa opsi tersebut tidak dipilih untuk mengatasi penyebaran virus Corona di Indonesia.
Namun dengan perkembangan kasus dan adanya efek sosial dan ekonomi maka mulai kemarin terjadi eksodus mudik. Pulang ke kampung halaman oleh para pekerja dari episentrum wabah di Jakarta. Beberapa daerah yang menjadi sasaran arus mudik ini diantaranya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sampai beberapa kasus yang kemudian meningkat di beberapa daerah tersebut, kemudian mulai ada penularan lokal (local transmission) selain juga diakibatkan oleh kasus impor (imported case). Tentu inilah mengapa para ahli kesehatan mendesak pemerintah untuk menerapkan lockdown maupun opsi karantina wilayah. Berpolemik mengenai ragam opsi tersebut sah. Tetapi mari saatnya melihat kapasitas riil kekuatan tenaga kesehatan (medis) kita di lapangan. Saya tidak hanya melihat kontek Jawa sebagai episentrum tetapi melihat Indonesia sebagai bagian integral sebuah bangsa. Dalam konsep equity dan equality semuanya sama-sama dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Akses Pelayanan Kesehatan Masih Problematik
Sampai saat ini distribusi tenaga kesehatan masih menjadi konsen yang harus segera dipecahkan. Apakah sudah ada upaya untuk menangani ini? Sudah. Pemerintah banyak melakukan beberapa program untuk mempersempit jurang akses pelayanan kesehatan. Nusantara Sehat, WKDS (Wajib Kerja Dokter Spesialis), PTT dan lainnya. Namun permasalahan ini kebijakan sebagai sebuah kebijakan reaktif untuk menutup celah kesenjangan pelayanan. Tapi belum menyentuh akar persoalan. Tidak heran kemudian kebijakan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis bagi para calon dokter spesialis ini kemudian digugurkan oleh Mahkamah Agung.
Banyak tantangan untuk membuat kebijakan kesehatan yang berkeadilan. Rentang geografis yang luas, dan tantangan sebagai negara kepulauan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah. Namun untuk itulah pemerintah dan negara hadir.
Variabilitas Ketersediaan Tenaga Dokter Sangat Lebar
Variabilitas ketersediaan tenaga dokter yang sangat lebar. Semakin banyak jumlah penduduk, semakin menarik bagi para tenaga dokter untuk berpraktik di provinsi tersebut. Semakin padat penduduk, semakin menarik bagi para tenaga dokter untuk berpraktik di provinsi tersebut. Semakin banyak rumah sakit, semakin menarik bagi para tenaga dokter untuk berpraktik di provinsi tersebut. Semakin banyak Puskesmas, semakin menarik bagi para tenaga dokter untuk berpraktik di provinsi tersebut (Laksono, A. D., Ridlo, I. A., & e., 2019)
Secara umum distribusi Dokter di Indonesia dapat dijelaskan dalam gambar dibawah ini.
Gambar 1. Distribusi Dokter Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2017
Jika dilihat pada gambar diatas (gambar.1) maka distribusi Dokter berdasarkan Provinsi terlihat sebagian besar tenaga Dokter dominan di Pulau Jawa. Tingkat warna menjelaskan pola distribusi ini. Hal ini cukup beralasan karena jumlah Dokter berbanding lurus dengan ketersediaan fasilitas kesehatan (Puskesmas maupun Rumah Sakit) di suatu daerah.
Gambar 2. Distribusi Dokter Berdasarkan Rasio per 100.000 Penduduk Per Provinsi di Indonesia Tahun 2017
Nah kemudian bagaimana jika kita bandingkan dengan rasio per 100.000 populasi. Maka nampak ketimpangannya. Bahkan di Jawa jika dilihat dari rasio jumlah dokter masih kurang. Rasio diukur dengan perbandingan kebutuhan dokter dibandingkan jumlah penduduk. Jawa sebagai pulau dengan penduduk paling padat di Indonesia ternyata belum cukup memenuhi kebutuhan dengan ukuran kuantitas. Sementara beberapa daerah seperti Papua, Maluku ternyata jika dilihat mempunyai rasio lebih baik.
Apakah ini memperlihatkan bahwa kehadiran dokter di Papua memadai? Bisa jadi ini adalah sebuah ‘false positif‘. Ada satu faktor dari sekian faktor yang perlu diperhatikan yaitu bentang ruang dan letak keterjangkauan fasilitas pelayanan kesehatan. Ini menjadi penting bukan hanya membandingkan rasio. Angka tersebut bisa jadi menipu.
Logikanya, Katakanlah di Papua terdapat dokter yang cukup memenuhi perhitungan rasio (gambar.2) lalu apakah penyebarannya merata? ada di gunung atau lembah? bukan menumpuk di Kota? Lalu pertanyaannya lanjutannya bagaimana orang yang sedang sakit atau mau melahirkan mudah mengaksesnya? Bandingkan dengan Jawa yang rasionya memang kurang. Tapi saat ini kita bisa mengakses pelayanan lebih mudah daripada saudara kita di timur pulau Jawa. Ini soal keadilan. Rasio hanya berhenti pada kesetaraan kuantitas (equality), tetapi yang perlu didorong adalah bagaimana pelayanan kesehatan yang berkeadilan (equity) dengan kembali menata distribusinya. Istilah yang dipakai adalah redistribusi tenaga Dokter (Kesehatan).
Hubungan dengan Pandemi COVID-19?
Salah satu hal yang membuat penanganan pasien terkonfirmasi positif menjadi tidak berjalan dengan baik adalah lumpuhnya jalur pelayanan kesehatan bahkan sistem pelayanan kesehatan disebuah negara. Kita sudah sangat tahu bagaimana Italia, Iran, dan beberapa negara lainnya yang gagal merespon pandemi ini. Padahal jika dilihat fasilitas kesehatan di Italia misalnya dimungkinkan lebih baik. Tapi apa yang terjadi. Sistem Kesehatan Nasional mereka bisa dikatakan sedang ada dijurang disfungsi sistem. Hingga bantuan dari negara lain seperti Cina sampai Cuba datang pun belum cukup mampu menahan laju perkembangan Covid-19.
Jika kita hubungkan data yang divisualisasikan melalui gambar distribusi Dokter di gambar sebelumnya dengan gambar dibawah ini barangkali perlu ditelaah bahwa saat ini pulau jawa sebagai episentrum penyebaran Covid-19. Khususnya wilayah DKI, Banten, Jabar, Jateng dan Jatim. Besaran digambarkan oleh besaran ‘node’ dalam peta menunjukkan jumlah kasus yang mewakili kasus konfirmasi. Berikut data yang diambil dari https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/ per tanggal 27 Maret 2020.
Gambar. 3 Besaran Kasus Per Wilayah di Indonesia. Besaran kasus diwakili oleh luasan node.
Sumber: https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/
Dapat dijelaskan DKI Jakarta saat ini bisa dikatakan sebagai pusat wabah (episentrum Covid-19). Jika dilihat, pola penyebaran Covid-19 dapat dikatakan sebagai fast pandemic. Kategori ini ditandai dengan penyebaran yang masif dan kondisi sistem pelayanan kesehatan rawan lumpuh karena undercapacity. Sehingga dari gambar diatas maka ‘node’ mempunyai pola penyebaran mengikuti pola perpindahan manusia. Semakin tinggi mobilitas maka taruhannya adalah semakin tinggi kasus konfirmasi. Inilah yang berhubungan dengan sejauh mana kekuatan sistem kesehatan di sebuah negara bisa bertahan.
Saya tidak bisa membayangkan jika Papua yang hanya mempunyai 60 Ventilator dan tenaga kesehatan yang terbatas (walaupun rasio lebih bagus) kemudian bentang wilayah seperti itu harus berjuang menghadapi angka eksponensial Covid-19. Pasti sistem kesehatan disana bisa tumbang dengan cepat.
Gambar 4. Kasus COVID-19 Per Provinsi dalam Diagram Pie
Sumber: KawalCovid19
Kemudian kita lihat besaran dalam persentase per provinsi, DKI Jakarta tercatat 58,7% kasus hampir separuh dari keseluruhan kasus yang terkonfirmasi berada di DKI Jakarta. Lalu kemudian dilihat dari death rate maka fluktuatif namun jika dibandingkan dengan dunia maka kasus kematian Indonesia masih tergolong tinggi. Kasus Baru hari ini (27/03) membuat perhatian lebih. Sudah seharusnya Pemerintah lebih serius melihat angka ini. Dari grafik gambar 5. dapat dijelaskan bahwa penambahan kasus baru setiap hari menunjukkan kenaikan per harinya. Bagaimana dengan penanganannya? Bisa dipastikan dengan adanya peningkatan kasus baru ini, dimungkinkan berpotensi signifikan terhadap kapasitas dan kapabilitas layanan kesehatan (terutama di RS Rujukan). Saya belum masuk pada bahasan bagaimana kemampuan rumah sakit tersebut? bagaimana APD Nakesnya? Pelik.
Gambar 5. Kondisi Kasus Per Hari (27 Maret 2020)
Sumber: https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/
Saya yakin pemerintah daerah maupun pusat melihat angka dan visualisasi ini sudah menyiapkan langkah taktis. Namun semakin hari opsi karantina wilayah menjadi sangat beralasan. Jika tidak episentrum akan tetap mengirimkan sekian banyak kasus baru, karena birokratisnya dan tidak praktisnya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Gambar 6. Perkembangan Kasus Nasional (27 Maret 2020)
Sumber: KawalCovid19
Apakah Dokter di Seluruh Indonesia Cukup Dapat Menahan Laju Covid-19?
Jika melihat kondisi rasio, saya mempunyai kecenderungan bahwa lambat laun sistem kesehatan kita akan ‘jebol’. Bukan tidak optimis, tapi akibat ini sudah sangat dirasakan oleh rumah sakit rujukan. Saya tidak muluk berbicara soal kapasitas ruang ICU dan Isolasi di Rumah Sakit per Wilayah. Silahkan dilihat realitas di lapangan. Termasuk ketersediaan Ventilator. Logikanya, Apa perlu kita beli sekian ratus ventilator? atau membuat rumah sakit darurat seperti Wuhan? Hmmm. Sangat tidak nyaman bagi Menteri Keuangan jika ditanya seperti itu. Maka opsi karantina wilayah adalah cara yang menurut saya logis yang bisa diambil pada kondisi rasio tenaga dokter (medis) per 100.000 penduduk di pulau Jawa yang terbatas. Pilihan itu nampak paling sulit secara sosial dan ekonomi, namun kembali pada tingkat kepentingan. Mau pilih ekonomi atau kesehatan? Semoga kita (lebih) cepat melewati Pandemi ini.