Mengapa rumah sakit kewalahan hadapi pandemi COVID-19 dan apa dampaknya bagi keselamatan pasien

Inge Dhamanti, Universitas Airlangga

Sejak kasus positif COVID-19 meningkat drastis hampir sebulan terakhir, banyak rumah sakit di daerah kewalahan menangani lonjakan pasien yang terinfeksi coronavirus.

Tak hanya di Indonesia, pandemi COVID-19 menyebabkan banyak rumah sakit di seluruh dunia mengalami kesulitan baik secara manajemen maupun sarana prasarana dalam memberikan pelayanan karena jumlah pasien melonjak dalam waktu singkat.

Terlebih COVID-19 merupakan penyakit menular mematikan dengan waktu dari mulainya penyakit sampai dengan menjadi parah terjadi dalam satu minggu.. Pasien dapat mengalami kegagalan sistem pernafasan akut dan membutuhkan sarana dan prasarana khusus seperti ICU, ruangan isolasi khusus, oksigen atau ventilator.

Sebuah riset berbasis pemodelan memprediksi pekan depan rumah sakit di Jakarta dan lima provinsi terbanyak kasus infeksi corona akan makin susut kemampuannya merawat pasien parah akibat COVID-19 yang membutuhkan ruang perawatan intensif (ICU) dan ventilator karena terbatasnya fasilitas tersebut.

Keadaan buruk ini sangat berdampak pada keselamatan pasien, apalagi jika rumah sakit tidak menegakkan secara ketat Rencana Penanggulangan Bencana di rumah sakit (Hospital Disaster Plan, HDP), sebuah mekanisme dan prosedur untuk menghadapi pandemi di layanan rumah sakit.

Dampak minus mitigasi RS terhadap keselamatan pasien

Kondisi bencana COVID membawa dampak pada kualitas dan keamanan dari pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit.

Ukuran dari dampak tersebut susah untuk diukur akan tetapi dapat dikaji menggunakan dimensi kualitas dari Institute of Medicine (IOM) yakni pelayanan kesehatan yang diberikan harus aman, efektif, berfokus pada pasien, tepat waktu, efisien, dan adil.

Pada kondisi normal, rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks secara desain dan sangat rentan terhadap terjadinya kesalahan. Sebagai contoh, dengan menggunakan rujukan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada kapasitas normal untuk rumah sakit di negara maju, 1 dari 10 pasien berpeluang mengalami insiden keselamatan pasien, misalnya pasien jatuh, operasi salah sisi, operasi salah pasien, kesalahan pengobatan atau insiden lainnya ketika menjalani perawatan di rumah sakit.

Sedangkan tingkat infeksi nosokomial (infeksi yang dapat terjadi pada pasien selama mereka menjalani perawatan di rumah sakit) terjadi pada 7-10 pasien di antara 100 pasien yang menjalani rawat inap.

Kesalahan atau keterlambatan diagnosis penyakit berkontribusi terhadap kematian yang terjadi di rumah sakit sekitar 10%. Selain itu kegagalan dalam berkomunikasi di antara tenaga kesehatan dalam memberikan perawatan berkontribusi 70% terhadap insiden yang menyebabkan pasien meninggal atau menyebabkan pasien mengalami disabilitas.

Pada kondisi pandemi ini, angka-angka tersebut kemungkinan menjadi lebih besar.

Misalnya, keterlambatan diagnosis kasus COVID-19 terjadi karena pasien dan dokter butuh waktu berhari-hari mendapatkan hasil tes swab (PCR). Hal ini menyebabkan pasien tidak mendapatkan perawatan sesuai standar COVID-19 dan mengakibatkan pasien meninggal saat dalam perawatan sebelum terkonfirmasi positif terinfeksi COVID-19.

Untuk mencegah infeksi selama di rumah sakit, protokol pengendalian infeksi COVID-19 dibuat sangat ketat.

Item yang diatur meliputi berbagai aspek, mulai dari alur masuk pasien ke rumah sakit, ketika pasien berada di ruang tunggu, pengelompokan pasien berdasar kondisinya, saat pasien harus dibawa ke unit pelayanan lain di rumah sakit, perawatan di ruang isolasi ataupun di ruang perawatan intensif, pengelolaan linen, bahkan sampai pengelolaan limbah.

Keamanan pelayanan akan sangat dipengaruhi oleh kepatuhan petugas kesehatan dan pasien terhadap prosedur, ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang standar, pelatihan yang terstandar, dan pemahaman petugas kesehatan terhadap protokol penanganan COVID-19. Sedangkan efektifitas pelayanan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana prasarana, ketepatan penanganan dan pengobatan yang untuk kasus COVID-19 sangat berkejaran dengan waktu.

Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menunjukkan ventilator hanya dimiliki oleh 60% rumah sakit di Indonesia. Terbanyak di Jawa Barat ada sekitar 1.200 unit, sedangkan paling sedikit di Maluku (22 ventilator). Jumlah rata-rata ventilator secara kasar, di setiap rumah sakit hanya sekitar 3-4 unit yang amat sangat kurang untuk bisa memenuhi lonjakan pasien.

Selain itu, kekurangan tempat tidur menyebabkan rumah sakit berusaha memulangkan pasien non-COVID lebih cepat, yang menyebabkan pergantian tempat tidur yang tinggi. Meningkatnya jumlah pasien yang keluar rumah sakit lebih dini juga dapat membahayakan keselamatan pasien.

Mitigasi bencana di rumah sakit

Di tengah beratnya beban rumah sakit saat pandemi, sebenarnya jauh hari sebelumnya rumah sakit memiliki Rencana Penanggulangan Bencana di rumah sakit (Hospital Disaster Plan, HDP) untuk menghadapi bencana.

Tujuan dari manajemen kesiapsiagaan rumah sakit dalam menghadapi pandemi adalah untuk memastikan bahwa rumah sakit setiap saat berada dalam kondisi siap-siaga untuk berpartisipasi secara efektif dan efisien dalam merespons kondisi darurat.

Rumah sakit juga mempunyai mekanisme dan prosedur yang dibutuhkan untuk mengkoordinasikan aktivitas manajemen dalam menghadapi pandemi.

Persyaratan terkait HDP telah diakomodasi dalam banyak instrumen akreditasi, baik akreditasi internasional maupun nasional, termasuk dalam Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1 yang dikeluarkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Bisa kita katakan jika rumah sakit telah terakreditasi seharusnya mampu untuk menangani bencana.

Namun kenyataannya, bagi banyak rumah sakit, mengaktifkan HDP dalam pandemi COVID-19 bukan hal yang mudah. Misalnya, di Indonesia terdapat 132 rumah sakit rujukan COVID nasional dan sekitar 500 rumah sakit rujukan provinsi yang kemungkinan besar telah terakreditasi dan mempunyai HDP.

Namun tingkat kesiapan rumah sakit, ketersediaan fasilitas, ketersediaan APD dan pengetahuan tenaga kesehatan yang berbeda-beda akan protokol COVID-19 dapat membawa risiko pada keselamatan pasien.

Selain itu, ada potensi penyebaran COVID-19 menjadi lebih luas karena tercampurnya pasien COVID-19 dan non-COVID dalam satu rumah sakit karena rumah sakit rujukan juga tetap memberikan pelayanan kepada pasien biasa.

Selain imbauan dari pemerintah agar masyarakat tidak mendatangi rumah sakit jika tidak mengalami kondisi gawat darurat, masyarakat sendiri sebenarnya juga takut terinfeksi COVID-19 bila mendatangi rumah sakit. Dampaknya, kunjungan pasien menurun 60-70%.. Dalam konteks ini, akses pelayanan kesehatan untuk masyarakat secara luas tertunda padahal tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan pandemi akan berakhir.

Sebuah studi dari Italia menceritakan sebuah rumah sakit di Codogno, kota kecil di Italia Selatan, mendesain ulang struktur, departemen dan logistik rumah sakit untuk merespons gelombang pasien positif COVID-19 yang membutuhkan rawat inap hanya dalam delapan hari. Di sini, respons rumah sakit terhadap bencana akan sangat menentukan jumlah kematian dan kesakitan di komunitas sekitar.

Beberapa mekanisme penanganan bencana yang terkandung dalam HDP di antaranya: mengaktifkan Unit Krisis Rumah Sakit, melakukan perhitungan, rekrutmen dan pelatihan tenaga tambahan. Juga mengkalkulasikan kapasitas maksimal dengan melihat jumlah ketersediaan tempat tidur, kemampuan mengubah ruangan yang ada menjadi pelayanan kritis dan ruang isolasi, serta ketersediaan ventilator dan alat lain.

Sayangnya, mekanisme tersebut belum diimplementasikan dengan baik oleh rumah sakit di seluruh dunia dan lebih banyak rumah sakit yang merasa tidak siap terutama untuk memastikan tercukupinya tenaga kesehatan dan pasokan medis di area pelayanan yang esensial.

Semua kondisi di atas membawa konsekuensi pada keselamatan pasien dan keselamatan tenaga kesehatan.

Rekomendasi

Melihat masalah yang kompleks tersebut, saya menyarankan dua hal kepada pemerintah:

Pertama, rumah sakit rujukan COVID-19 sebaiknya hanya melayani pasien COVID-19 saja. Rumah sakit dipilih berbasis wilayah sehingga tidak semua rumah sakit di kabupaten/kota menjadi rumah sakit rujukan.

Dengan strategi ini pemerintah pusat dan daerah, dalam waktu sangat pendek, dapat menambah jumlah tempat tidur atau ruang perawatan secara signifikan, memfokuskan pemenuhan kekurangan tenaga kesehatan, memberikan pelatihan yang tepat, alat pelindung diri yang lengkap dan terstandar, serta memenuhi kebutuhan sarana prasarana yang lain.

Dengan demikian pengendalian infeksi di tingkat rumah sakit dan pemberian pelayanan yang efektif akan lebih terkontrol pada akhirnya akan meningkatkan keselamatan pasien dan tenaga kesehatan.

Kedua, pemerintah perlu membuat sistem penilaian yang lebih komprehensif terhadap HDP dalam akreditasi rumah sakit Indonesia. Misalnya menjadikan HDP menjadi bab penilaian tersendiri, bukan merupakan bagian kecil dari Manajemen Fasilitas Rumah Sakit.

Hal ini penting karena Indonesia adalah daerah rawan bencana dan HDP harus menjadi bagian dari operasional rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit akan memberikan perhatian yang lebih besar dan mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk mengimplementasikan mitigasi bencana di rumah sakit.The Conversation

Inge Dhamanti, Lecturer and Researcher in Public Health, Universitas Airlangga

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

 

Diunggah ulang oleh: Ilham Akhsanu Ridlo