Cerita humor satir Mukidi diatas adalah satu dari beberapa cerita yang tersebar di jejaring sosial dan media sosial perpesanan. Sebut saja Broadcast Message dari aplikasi Whatsapp atau Blackberry Messenger. Dari situlah kemudian banyak Meme bertajuk Mukidi mulai bersliweran.
Tidak jarang di grup Whatsapp yang nampaknya isinya serius berubah menjadi kacau hari itu karena seharian yang dibahas adalah sosok Mukidi. Sampai sekarang ‘demam’ Mukidi juga sepertinya belum berakhir. Terus saja ada Mukidi-Mukidi lainnya yang bermunculan setelah orang banyak tahu siapa sih Mukidi dan orang yang ada dibalik cerita humor ini.
Satu sisi viralnya Mukidi di jejaring perpesanan dan di jejaring sosial media merupakan berkah karena dipandang menghibur, di sisi lainnya ternyata kita juga ‘gampang’ sekali terviral kan oleh satu isu tertentu. Okelah, tidak berlebihan jika saya menyebutnya sebagai LATAH.
Saya lebih suka menyebut viralnya Mukidi sebagai akibat dari budaya ‘Latah’ kita. Tentu kita masih ingat beberapa waktu yang lalu saat NIANTIC merilis game berbasis Augmented Reality (AR) Pokemon Go. Senyampang itu juga berseliweran broadcast message dan HOAX tentang game yang sekarang sudah mulai redup lagi itu.
Nah, kembali lagi soal Mukidi latah
Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa latah yang dimaksud merupakan produk budaya, ada lagi yang menganggap sebuah kebiasaan, serta sebagaian lain menyebut sebuah penyakit. Apa cukup berlebihankah?
Dalam beberapa literatur yang sempat saya baca, Latah disebut juga dengan istilah echolalia, Sebuah kondisi unik dimana penderitanya menunjukkan perubahan kualitas kesadaran dan abnormalitas tingkat sugestibilitas. Dalam kasus Mukidi, Latah yang dimaksud tentunya adalah budaya untuk tidak mau ketinggalan berita dan sekedar ikut menge-share viralnya broadcast. Termasuk saya kali ya yang juga ikut menulis di blog ini.
Latah yang demikian dinamakan echopraxia, suatu kondisi dimana kita menirukan perbuatan tertentu (re-share) dan sekedar ikut-ikutan. Wah mungkin berlebihan juga ya jika kondisi latah bersocmed saya masukkan dengan pendekatan klinis. Hehehe.
Oke, tidak saya lanjutkan pembahasan mengenai ‘Latah’ dari pendekatan ilmu kedokteran. Saya bukan seorang Dokter.
Budaya Latah sebagai The Power of Word of Mouth
Budaya latah terkait sosial media dan media sejenisnya inilah yang saat ini membuat beberapa kasus maupun wacana yang melibatkan publik menjadi viral. Ada beberapa hal yang menyebabkan beberapa isu maupun wacana dan sekedar broadcast message (kasus Mukidi dan lainnya) menjadi boombastis.
Tak bisa juga kita pungkiri bahwa berbagai lakon politik dan beberapa wacana terdongkrak karena budaya latah bersocial media (Re-share/Copy Paste Message). Dalam hal ini saya bisa mengatakan ada beberapa faktor yang bisa membuat sebuah lakon/broadcast/ataupun content menjadi Viral. Masih ingatkah dengan konsep pemasaran yang old-fashioned? ya konsep ‘the power of word of mouth’ istilah jawanya disebut ‘getuk tular’.
Konsep itulah yang dipandang saat ini sebagai konsep viral bermedia sosial. Tentu mulut dalam istilah terdahulu sudah digantikan dengan jari-jari tangan dan media perpesanan.
Oke…Ada istilah 3 M (Man, Message dan Momentum) yang membuat semua media menjadi viral. Pak Mukidi menjadi viral karena faktor ini. Termasuk Ahok dan lakon politik lainnya.
Pemasaran viral (viral marketing) harus memenuhi 3 kriteria, yaitu 3 M (Man, Message dan Momentum).
Man. Barangkali faktor ini menjadi tokoh kunci, saat ini hampir setiap orang mempunyai gawai (Red: gadget) yang sudah tertanam aplikasi sosial media sebagai sarana perpesanan. Jadi tidak perlu lagi tokoh sentral penyebar konten, nyatanya kalau kita lihat kenyataannya semua tangan akan latah untuk mengirim atau Re-Share konten sosial media. Termasuk Saya kali. Jadi Buzzer (penyebar isu/konten) hanya tinggal memilih segmentasi sasaran, dia hanya mengatur dan mengkoordinasi konten agar sampai ke khalayak ramai. Man di kasus Mukidi dan lainnya sesungguhnya terletak pada pemegang gawai.
Message. Pesan yang akan disampaikan. Mudah diingat dan menggugah orang untuk mengikutinya. Kisah Mukidi menjadi viral karena orang akan mengingat sebagai sebuah humor yang konyol, lucu dan me-release stres disaat jam kerja merayap. Begitupun kasus lainnya. Kontroversi dan konsep ‘nyleneh’ masih sangat diminati oleh masyarakat, tentu saja secepat itu juga disertai dengan ‘Re-Share‘ atau menyebarkan ke jejaring mereka masing-masing, berharap mendapat reward sebagai manusia pertama yang mengetahui isi konten. Itu jamak terjadi saat ini.
Momentum. Kedua faktor sebelumnya menjadi tidak berarti jika seorang buzzer tidak paham momentum.Momentum yang dimaksud adalah waktu yang tepat untuk melancarkan program viral marketing atau penyebaran konten pesan.
Nah, kan menjadi tahu kan kenapa Mukidi bisa Viral. Sebenarnya Viralnya Mukidi bisa dilihat dari tiga aspek tadi. Masalahnya adalah saya masih penasaran sama siapa sih yang menyebarkan pertama kali cerita Mukidi di Whatsapp menjadi sebuah Broadcast message? Ada yang tahu?
Artikel ini Ditulis Oleh :
Ilham Akhsanu Ridlo, S.KM., M.Kes
Dosen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Universitas Airlangga