Opini: Ramadhan, Pandemic Fatigue, dan Efek Peltzman.

Oleh: Dr. M. Atoillah Isfandiari
Apa hubungan ahli Ekonomi Sam Peltzman, dengan Pandemi, apalagi dengan bulan ramadhan yang suci?

Secara langsung ya tidak ada.Karena Ramadhan ya identik dengan puasa, tarawih, tadarrus, dan, dua tahun lalu, buka bersama. Tapi secara tidak langsung, cukup relevan.

Di tahun 1988 Peltzman mengusulkan suatu teori bahwa orang lebih cenderung melakukan perilaku berisiko ketika tindakan pengamanan telah dilakukan. Persepsi Keamanan meningkatkan Risk Appetite, atau kecenderungan untuk mengambil resiko setelah merasa diri aman.

Nah, kaitannya dengan pandemi adalah, bahwa Ramadhan ini adalah ramadhan kedua di masa pandemi. Artinya, sudah setahun lebih kita bersama covid-19. Selama ini berbagai macam protokol kesehatan yang melawan kodrat kita sebagai makhluk sosial telah kita lakukan. Tentu, bagi sebagian besar orang, ada waktunya ketika kita berada pada titik lelah dengan pandemi ini. Pandemic Fatigue.

Orang tak lagi membaca berita covid-19, tak lagi meng update angka kasus harian, dan angka kematian akibat covid-19, yang memang ini adalah berita-berita negatif penurun imunitas yang sangat ingin dihindari. Sehingga berita-berita vanity seperti pernikahan seleb yutub penyedot pulsa emak-emak, jauh lebih menarik untuk dibahas. Kan tetap masih ada bahasan covid-covid nya, pikir sebagian dari kita. Maksudnya, dari aspek pelanggaran protokol kesehatan yang “direstui”. Atau lebih ramainya berita-berita yang kemudian diikuti ramainya berbagai macam-macam komentar terkait terorisme dan radikalisme.

Bencana alam di NTT, gempa di Malang, (semoga saudara-saudara kita di sana segera bangkit dari bencana) …Ah, sepertinya kita sudah normal kembali dari pandemi. Belum lagi dengan adanya vaksinasi yang cakupannya belum sampai 10% penduduk tapi rasa-rasanya korona sudah hilang saja (walaupun meskipun masih kecil, persentase cakupan vaksinasi kita sebenarnya masih lebih bagus dari sebagian negeri Eropa).

Intinya, pandemi sudah setahun, update kasus covid-19 tak lagi terdengar, vaksinasi dilaksanakan di mana-mana. Indonesia sudah aman. Ramadhan ini sudah aman. Persepsi kita demikian. Faktanya, kita tak lagi mendengar berita korona karena kita lelah mendengar. Pandemic fatigue. Vaksin telah ada, karenanya kita “aman”. Inilah efek Peltzman.

Tentu, waktu setahun itu pula yang harus kita ambil hikmah, jangan sampai menyebabkan paradoks: dulu, ketika jumlah kasus masih rendah, kewaspadaannya yang tinggi. Sekarang, jumlah kasusnya tinggi, kewaspadaannya yang rendah. Artinya, bukan berarti ramadhan ini kita kembali sembunyi atau membuat masjid-masjid kita menjadi sepi, tetapi maksudnya, sekedar mengingatkan kita semua bahwa, ramadhan tahun lalu kita lalui di rumah di kala kasus harian masih sekitar 400-an dan ramadhan tahun ini bisa kita lalui di masjid dan musholla di kala kasus harian mencapai lebih dari 4.000 an, jangan sampai ini malah menyebabkan efek Peltzman. Membuat kita kehilangan kewaspadaan, mengendorkan protokol kesehatan.
Sebagai ikhtiar agar kita, keluarga kita, dan orang-orang tercinta di sekitar kita bisa berharap tetap dapat bertemu ramadhan yang lebih baik lagi situasinya di tahun depan.
Marhaban ya ramadhan.