FKM News – Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) menyebutkan bahwa timbulan sampah di Indonesia telah mencapai 67,8 juta ton pada tahun 2020. Diperparah, wacana pengurangan sampah plastik 30% pada 2025 mendapat tantangan dengan meningkatnya volume plastik saat pandemi Covid-19.
Meningkatnya aktivitas masyarakat saat pandemi di tingkat rumah tangga atau domestik, menjadi salah satu faktor peningkatan volume sampah. Tidak hanya sampah organik dan anorganik saja, tetapi juga bertambahnya sampah masker sekali pakai dimana tergolong dalam limbah infeksius.
Corie Indria Prasasti, S.KM., M.Kes., Dosen Kesehatan Lingkungan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) menyebutkan bahwa, dampak meningkatnya volume sampah di tingkat rumah tangga tentunya akan berdampak panjang pada peningkatan timbulan sampah di TPS dan TPA. Hal tersebut tentunya akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
“Namun jika sampah tersebut dapat dikelola dengan baik mulai di tingkat rumah tangga tentunya akan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar,” ungkapnya ketika diwawancarai oleh tim FKM News pada Selasa (23/2/20) via whatsApp.
Pemilihan masker medis sekali pakai oleh masyarakat memang tidak bisa dipungkiri karena pemakaiannya lebih praktis. Meski begitu, masyarakat perlu diajarkan untuk mengelola sampah masker medis tersebut dengan baik dan aman. Tidak hanya masyarakat, namun peran pemerintah juga dibutuhkan dalam memfasilitasi pengangkutan serta pengolahan sampah masker medis tersebut.
Di era pandemi, memang diperlukan pengelolaan yang terintegrasi mulai dari sumber utama penghasil sampah terbesar. Karena, jika masyarakat bisa melihat nilai positif dari sampah, tentunya sampah tersebut akan sangat dapat membantu ekonomi masyarakat.
“Banyak hal baru yang menarik dan bernilai ekonomis dari hasil pengolahan sampah. Kita harus ingat prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle),” terangnya.
Corie menjelaskan, dalam hal ini kita bisa menggunakan reuse dan recycle untuk menjadikan sampah lebih bernilai. Sampah anorganik, dapat dikreasikan mulai dari hal yang paling sederhana hingga menjadi benda artistik yang bernilai ekonomi sangat tinggi (pot bunga, tempat pensil, tempat Takakura, dan lainnya). Sampah organik, juga dapat diolah menjadi kompos yang mempunyai unsur hara yang baik juga jika dibuat dengan benar.
“Jika bicaranya pandemi, ini cocok sekali. Kita tidak hanya fokus pada gadget dan laptop saja, tetapi kita bisa bergerak dengan membuat kompos dan barang bermanfaat lain dari sampah,” paparnya.
Prinsip ‘Dari Kita Untuk Kita’ dapat menjadi solusi untuk menekan permasalahan sampah di Indonesia. Kita yang menghasilkan sampah maka sudah seharusnya kita juga yang bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan kembali. Semua harus dimulai dari hal sederhana yang paling dekat dengan kita.
“Mulailah dari rumah kita masing-masing. Mulailah dari hal yang sederhana dan dekat dengan kita, kemudian bermanfaat untuk kita lagi,” ujarnya.
Memang cukup sulit menyasar seluruh kalangan untuk dapat mengelola sampah dengan baik. Namun usaha tetap bisa dilakukan, seperti halnya Corie memulai praktik bersama anak-anaknya, kemudian mengkampanyekan hal tersebut melalui sosial medianya yakni facebook. Dari situ, akan menumbuhkan rasa ketertarikan pada masyarakat.
Tidak hanya melalui sosial media, praktik langsung juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat di lingkungan sekitar. Secara tidak langsung, hal itu dapat memberikan kontribusi untuk menekan volume sampah di Indonesia.
Tidak lupa, Corie juga menyampaikan bahwa sampah sejatinya bukan merupakan hal negatif, karena sampah bisa dikelola dan akan memberikan benefit apabila kita mau berusaha. Dua kunci penting dalam pengelolaan sampah, yakni konsisten dan pemberian edukasi pada pengelola sampah dengan tepat. (*)
Penulis : Ulfah Mu’amarotul Hikmah