Pernikahan di usia dini selalu menjadi topik yang memicu diskusi hangat di masyarakat, terlebih ketika melibatkan figur publik atau tokoh agama. Fenomena ini tidak hanya memicu perdebatan di media sosial, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang berbagai aspek terkait pernikahan dini. Bagi beberapa orang yang mendukung tindakan tersebut beranggapan bahwa pernikahan ini menjadi bukti akan ketaatan pada nilai-nilai agama dan keberanian menghadapi tantangan hidup di usia dini. Di sisi lain, tidak sedikit yang memberikan tanggapan skeptis dan mempertanyakan kesiapan mental, emosional, dan tanggung jawab yang akan mereka hadapi dikarenakan pasangan yang melakukan pernikahan dan belum memenuhi standar dan mencapai batas usia yang ditetapkan dapat menimbulkan beberapa dampak bagi pasangan maupun orang-orang di sekitar mereka.
Apakah pernikahan hanya sekadar pilihan pribadi yang harus dihormati, atau ada aspek lain yang lebih besar untuk dipertimbangkan dan dikritisi? Di balik atensi masyarakat, peristiwa pernikahan dini kembali menjadi isu yang mengundang berbagai perspektif mulai dari segi norma, agama, tekanan sosial, hingga dampaknya terhadap kesehatan dan kehidupan generasi muda. Dalam artikel, kita akan membahas secara mendalam mengapa pernikahan dini bisa menimbulkan pro dan kontra. Fenomena pernikahan dini tidak sekadar persoalan pilihan hidup dan cinta, tetapi juga terkait dengan berbagai tantangan jangka panjang yang kerap diabaikan. Kita juga akan merenungkan pelajaran apa yang sebenarnya bisa dipetik dari fenomena ini. Siapkah kita menghadapi realitas di balik romantisme pernikahan dini?
Tentu saja pernikahan influencer atau figur publik yang masih dibawah umur mengundang berbagai kritik tajam dari warganet. Pasalnya menurut Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2019, tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 7 ayat 1 regulasi tersebut dijelaskan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”. Dalam kasus pernikahan influencer dibawah umur, jika hanya pihak laki-laki yang telah melewati usia minimal untuk menikah sedangkan pihak perempuan belum melalui usia legal artinya laki – laki tersebut menikah dengan anak dibawah umur. Jika KUA mengikuti peraturan perundang – undangan, maka pernikahan dini tersebut pasti ditolak. Namun pada pasal 7 ayat 2 disebutkan jika terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat 1, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung. Perlu diingat, alasan mendesak di sini berarti keadaan dimana tidak ada pilihan lain selain dinikahkan. Pasal 7 Ayat 3 UU Perkawinan mengatur bahwa untuk dapat memberikan dispensasi pernikahan, pengadilan agama harus mendengarkan pendapat kedua mempelai yang hendak menikah.
Pernikahan dini masih menjadi masalah khusus di Indonesia serta banyak terjadi di pesantren dan kalangan pemuka agama. Kasus pernikahan dini sudah “dinormalisasi” di lingkungan ini dengan alasan agar remaja putra dan putri terhindar dari perzinaan. Jika angka pernikahan dini melambung tinggi, tentunya menimbulkan banyak permasalahan dihadapi oleh perempuan yang melakukan pernikahan tersebut. Pernikahan dini memberikan dampak sangat negatif bagi mereka baik secara fisik, psikologis, ekonomi, kemandirian, dan pendidikan. Pada suatu penelitian terkait dampak pernikahan dini pada kesehatan reproduksi dan kesehatan mental perempuan pada 2020, dihasilkan bahwa menikah pada usia dini banyak memiliki kekurangan seperti belum adanya kematangan yang dimiliki. Didapatkan juga dampak biologis yang ditimbulkan saat hamil dan melahirkan yakni terjadinya BBLR, anemia, dan hipertensi yang terjadi karena fungsi reproduksi belum siap untuk hamil dan melahirkan. Dampak lain yang diakibatkan oleh pernikahan dini meliputi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena adanya permasalahan keuangan, kurangnya komunikasi yang berujung perceraian, ketidakmampuan melanjutkan pendidikan, serta merasa tidak ada kebebasan untuk berkumpul dan bermain dengan teman sebaya.
Angka perkawinan anak terus menurun selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2021, angka perkawinan anak menurun dari 10,35% menjadi 9,23%. Setelah itu turun lagi menjadi 8,06% pada tahun 2022 dan 6,92% pada tahun 2023. Hal ini telah melampaui target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yaitu sebesar 8,74% di tahun 2024. Dengan julukan Influencer atau figur publik, dikhawatirkan membuat para penggemar fomo menikah diusia dini tanpa adanya ilmu yang cukup dan sekadar mengikuti trend.
Dalam Syariat Islam, tidak ada aturan yang menetapkan batas usia untuk menikah. Namun, terdapat ketentuan mengenai usia baligh, yang menunjukkan kesiapan seseorang untuk mematuhi hukum Islam. Usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan ditetapkan pada 15 tahun. Selain itu, Syariat Islam juga menyatakan bahwa seseorang dianggap layak untuk menikah ketika telah mencapai usia yang cukup untuk berbuat dan menerima haknya (ahliyatul ada’ wa al-wujub). Mayoritas pakar hukum Islam mengizinkan pernikahan dini, yang ditafsirkan dari Surat Al-Thalaq ayat empat. Sejarah juga mencatat bahwa Aisyah dinikahi Nabi Muhammad pada usia yang sangat muda. Pernikahan dini dianggap hal yang biasa di kalangan sahabat Nabi. Beberapa ulama bahkan menyatakan bahwa pembolehan pernikahan dini telah menjadi konsensus di kalangan ahli hukum Islam.
Pernikahan dini memiliki beberapa sisi positif. Saat ini, banyak pasangan muda yang berpacaran tanpa memperhatikan norma agama, yang seringkali menyebabkan perilaku asusila di masyarakat. Oleh karena itu, pernikahan dini bisa menjadi solusi untuk mengurangi tindakan negatif tersebut dan mencegah remaja terjebak dalam pergaulan yang meresahkan. Sisi positif lain diantaranya sebagai dukungan emosional yang dapat melatih kecerdasan spiritual dalam diri setiap pasangan. Kedua sebagai dukungan keuangan untuk meringankan beban ekonomi menjadi lebih hemat. Ketiga yaitu kebebasan melakukan hal sesuai keputusan mereka untuk menjalani hidup. Keempat belajar memikul tanggung jawab di usia muda. Terakhir yang tak kalah penting yaitu dapat terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina.
Islam tidak melarang adanya pernikahan dini, asalkan dari masing-masing pihak telah mampu memenuhi segala persyaratannya, dan pernikahan tersebut dilaksanakan untuk menguatkan rasa keberagamaan antara keduanya. Untuk itu kontroversi pernikahan dini pada kalangan influencer tidak perlu mendapatkan kecaman karena secara agama telah sah untuk dilakukan pernikahan. Dalam Islam saat telah mencapai baligh yaitu usia diatas 15 tahun, pernikahan dini seharusnya tidak menjadi hal yang harus dipertentangkan. Pernikahan dini bukan sekadar persoalan pilihan pribadi, tetapi juga menyentuh dimensi sosial, psikologis, dan sistemik yang memerlukan perhatian bersama. Fenomena ini seharusnya menjadi refleksi bagi masyarakat untuk menyeimbangkan nilai-nilai agama, tradisi, dan tantangan kehidupan masa kini pada generasi muda. Bukan hanya tentang menghormati keputusan individu, tetapi juga tentang memberikan pemahaman mendalam mengenai kesiapan mental, emosional, dan tanggung jawab yang menyertai pernikahan.
Terwujudnya pendekatan yang seimbang dalam melihat isu ini, dimana edukasi menjadi garda terdepan. Masyarakat dapat menciptakan ruang dialog yang inklusif untuk generasi muda dan harus dibekali wawasan tentang pentingnya kesiapan hidup berkeluarga, didukung oleh lingkungan sosial yang memahami dan memfasilitasi perkembangan mereka. Selain itu, media dan tokoh publik diharapkan memainkan peran sebagai agen perubahan, tidak hanya menyoroti keputusan tetapi juga memberikan ruang diskusi berbasis solusi. Harapannya orang tua bisa lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan mengenai pernikahan dini kepada putra dan putri mereka. Karena dampak negatifnya bisa sangat merugikan berbagai pihak, yaitu individu yang menjalani, keluarga, bahkan masyarakat secara luas. Untuk itu, perlu adanya dukungan aktif dari pemerintah dalam memberikan edukasi, fasilitas, dan perlindungan bagi anak di bawah umur agar terhindar dari pernikahan dini.
NAMA ANGGOTA KELOMPOK 6
- Dafika Ajra Nadia (191231014)
- Annisa Dwi Aulia (191231016)
- Jenoya Dwimauly (191231136)
- Ammar Hisyam Rabbani (191231141)
- Kayla Azzahra (191231197)
- Hilda Tafiatul Amalia (191231202)
- Shofiyya Mar’atus Shifa (191231238)