Diagnosis dan Penanganan yang Baik Bagi Penderita ADHD

ADHD (Attention Deficit / Hyperactivity Disorder) merupakan gangguan neuropsikiatri yang mempengaruhi cara kerja otak. Ditandai dengan sikap seseorang yang hiperaktif, sulit focus, dan melakukan tindakan impulsif lainnya. Banyak penelitian mengungkapkan ADHD sering komorbiditas dengan beberapa gangguan kejiwaan seperti gangguan perilaku, ketidakmampuan belajar, depresi, dan gangguan kecemasan.

Berdasarkan jurnal Kessler (2006) ada sekitar 9,4 persen orang yang menderita comorbid ADHD dan depresi. ADHD pada penderita depresi dapat berakibat buruk. Dikarenakan kemungkinan untuk mengalami depresi seasonal, gangguan pada beberapa fungsi tubuh, bahkan kemungkinan untuk melakukan percobaan bunuh diri juga lebih besar dibandingkan penderita depresi biasa tanpa komorbid ADHD.

ADHD sendiri dapat dikatakan sulit didiagnosa dengan pasti dikarenakan tidak adanya biomarker khusus untuk memastikannya. Penilain berbasis wawancara semi-terstruktur, catatan historis kesehatan dari kedua gejala, maupun catatan mengenai kondisi kesehatan pada masa kanak-kanak juga dirasa masih belum cukup untuk mencatat diagnosa seseorang secara pasti. Hal ini dikarenakan penelitian untuk mengetahui apakah seseorang mengalami ADHD dan depresi diperlukan perhatian khusus, pengawasan secara rutin, dan tentunya memakan waktu yang tidak singkat untuk mendapatkan hasil pastinya. 


Maka dari itu, Untuk mengetahui apakah seseorang mengidap ADHD atau tidak dapat dilakukan tes diagnosa dengan menggunakan sistem BDI. Sistem BDI adalah salah satu metode dalam penelitian psikologi dengan 21 pertanyaan tentang perasaan pengidap depresi. Namun disamping kemungkinan dari gangguan depresi dan comorbid ADHD, yang lebih berbahaya adalah jika tenaga ahli melakukan overdiagnosis. Hal ini dapat memperparah gangguan depresi dan kecemasan. 

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Nagoya sudah melalui persetujuan dari Ethics Committee Universitas Nagoya. Partisipan dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan psikiatri dari klinik Hidamari Kokoro Jepang, yang telah dikumpulkan sejak April hingga Oktober 2018, dengan melibatkan 740 orang pasien dengan keluhan depresi dan rasa panik (anxiety). Sekitar 355 aau 5,4 persen orang didiagnosa memiliki gangguan penyesuaian terhadap stress berat (F43).

Dari hasil studi tersebut didapatkan 29 persen (209 orang) gangguan depresi mayor, serangan panik 20 persen (145 orang), dan lain sebagainya. Gejala depresi yang lebih parah dapat meningkatkan tingkat ADHD

Setelah 12 minggu, hasil tes pada penderita depresi dengan tes skrining ASRS (Self-Report Scale Version) melaporkan mengalami kecemasan yang signifikan dibandingkan penderita dengan hasil tes skrining ASRS negative. Selain itu ternyata perbedaan demografis atau lingkungan juga berpengaruh dengan keadaan pasien. 

Tabel Karakteristik Demografi

Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa pasien dengan gejala ADHD dan depresi tidak bisa ditangani sendiri, perlu perhatian khusus dari psikiater agar bisa mendiagnosa secara tepat dan objektif. Terapi yang efektif juga dapat mengubah skor BDI dan skor ASRS. 

 

Penulis: Harini Putri Wahyuningsih

Editor: Ivana Laily