REFORMASI KEMARIN dan KINI: Pasang Surut Regulasi Rokok bagi Kesehatan di Era Reformasi

Polemik rokok tidak pernah ada habisnya, ekonomi via a vis kesehatan. Industri rokok identik penghasil devisa dan menyerap jutaan tenaga kerja. Rokok juga merupakan penyebab berbagai penyakit yang mematikan. Jumlah kematian akibat rokok terus meningkat dari 41,75% pada tahun 1995 menjadi 59,7% di 2007. Data survei ekonomi nasional 2006, penduduk miskin menghabiskan 12,6% penghasilannya untuk konsumsi rokok. Pasang Surut Regulasi Rokok bagi Kesehatan di Era Reformasi 47 Polemik rokok nampak nyata bila kita cermati pasang surut regulasi pengamanan rokok bagi kesehatan di era Reformasi saat ini, dalam kurun waktu 5 pergantian kepresidenan.

Era Habibie
Regulasi pengamanan rokok bagi kesehatan diawali di era presiden Habibie, dengan keluarnya PP Nomor 81 tahun 1999, tepatnya 5 Oktober 1999. Di era ini, kesehatan menjadi prioritas penting yang tercermin dengan keluarnya prasasti Indonesia Sehat 2010. Tujuan PP 81/99 adalah melindungi kesehatan dari bahaya merokok, menekan perokok pemula serta melindungi perokok pasif. PP 81/99 mengatur penetapan kadar tar dan nikotin pada setiap batang rokok; persyaratan promosi dan iklan rokok yang hanya dapat dilakukan di media cetak dan media luar ruangan; pengaturan tentang batas waktu berapa tahun penyesuaian persyaratan batas maksimal tar dan nikotin bagi produsen rokok kretek buatan mesin dan produsen rokok kretek buatan tangan. Namun, belum dijalankan, PP ini ditentang kalangan industriawan rokok. Mereka menuding ada intervensi pihak asing. Mereka mengancam PHK besar-besaran pada industri rokok serta menghancurkan petani tembakau, sehingga mengurangi pendapatan negara.

Era Gus Dur
Protes kalangan industriawan rokok disetujui, dengan keluarnya PP Nomor 38 tahun 2000 tentang Perubahan atas PP 81/99 pada tanggal 7 Juni 2000. PP 38/2000 memuat promosi dan iklan rokok dapat dilakukan di media elektronik dengan pengaturan masa tayang. Masa penyesuaian pengaturan tentang batas waktu penyesuaian persyaratan batas maksimal tar dan nikotin lebih diperpanjang. Dalam PP 38/2000, disepakati membentuk Lembaga Pengkajian Rokok yang bertugas untuk mengkaji berbagai permasalahan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan PP tersebut. Meski sudah berubah menjadi PP 38/2000 yang terkesan lebih ‘mengalah’ kepada kaum industriawan. Kalangan industri rokok mengganggap PP ini masih banyak yang mengatur hal teknis industri rokok kretek. Mereka terus berupaya melobi pihak yang dianggap dapat membatalkan PP.


Era Megawati
Dengan dalih lebih mengefektifkan pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan, terbitlah PP Nomor 19 tahun 2003 pada tanggal 10 Maret 2003. Bukan malah menyempurnakan, PP 19/2003 memangkas beberapa aturan. Penetapan minimal kadar tar dan nikotin pada setiap batang rokok tar hilang dari peredaran. Produsen rokok hanya wajib Pasang Surut Regulasi Rokok bagi Kesehatan di Era Reformasi 49 memberikan informasi kandungan tar dan nikotin setiap batang rokok yang diproduksinya. Aturan masa penyesuaian dan aturan tentang batas tar dan nikotin sampai dengan batas maksimal dihilangkan. Industri rokok kretek bebas memproduksi rokok dengan kandungan tar dan nikotin tinggi tanpa harus khawatir untuk memenuhi aturan batas maksimal. Lembaga Pengkajian Rokok yang semula direncanakan dibentuk, akhirnya tidak jadi dibentuk. Era SBY Regulasi terkait rokok dan kesehatan kembali memanas dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam UU tersebut, tepatnya di pasal 113, mengatur tentang pengamanan zat adiktif, salah satunya adalah produk rokok. Publik mengenal sebagai ‘pasal tembakau’ yang sempat menghebohkan. Pasal 116, menyebutkan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Presiden SBY mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan pada tanggal 24 Desember 2012. 50 Gugus Opini Kesehatan Masyarakat #3 Subtansi PP 109/2012 tidak banyak mengubah secara signifikan isi dari PP 19/2003. Penjelasan lebih detail terkait iklan dan promosi produk rokok, serta larangan menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi produk tembakau/rokok. Namun kedua PP tidak mengatur sanksi tegas terkait pelanggaran aturan tersebut, hanya sanksi administratif.

Era Jokowi
Presiden Jokowi dengan program Nawacita, salah satunya adalah peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia. Namun terkait regulasi pengamanan rokok bagi kesehatan, alih-alih mempertegas implementasi PP 109/2012, Presiden Joko Widodo justru mengirim surat presiden mengenai RUU Pertembakauan yang diusulkan DPR. Presiden justru memberi angin segar untuk kelanjutan pembahasan RUU yang justru lebih banyak kontra kesehatan. RUU Pertembakauan memicu polemik. Sejumlah organisasi kesehatan menentang keras RUU tersebut, karena kontroversi mengiringi RUU tersebut, terutama terkait ketiadaan naskah akademis serta isinya yang lebih banyak berorientasi ekonomi ketimbang kesehatan. Banyak pihak berharap pemerintahan Jokowi mengamankan jalannya regulasi pengamanan rokok bagi kesehatan. Salah satunya dengan Aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau. Pasang Surut Regulasi Rokok bagi Kesehatan di Era Reformasi 51 Sampai saat ini telah ada sebanyak 179 negara di dunia yang meratifikasi FCTC tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara penggagas dan bahkan turut merumuskan FCTC. Akan tetapi justru Indonesia belum melakukan aksesi FCTC. Pasang surut regulasi rokok dan kesehatan, mulai dari era Habibie hingga Jokowi terlihat jelas bahwa polemik regulasi pengamanan rokok bagi kesehatan akan terus menghiasi pemberitaan di negeri tercinta Indonesia.

Penulis: Rachmad A. Puageno, S.KM., M.Kes
Sekretaris Jenderal PP Persakmi (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia)

Beberapa artikel terkait diambil dari Buku Gugus Opini Kesehatan Masyarakat #3 dapat diunduh disini.