Tantangan Kebijakan Kesehatan Mental Indonesia di Masa Pandemi

Sejak ditetapkan sebagai terjadi penularan wabah antar manusia di Wuhan, China pada 31 Desember 2019, infeksi -2019 (COVID-19) yang menyebabkan penyakit  (SARS-Cov-2) menjadi pandemi global. Penularan virus ini ditengarai terkait dengan penjualan daging yang berasal dari binatang liar atau penangkaran hewan di pasar makanan laut (Cui, dkk., 2019). Gejala umum yang didapati oleh pasien adalah demam, batuk dan  atau kelelahan. Gejala yang spesifik yaitu batuk berdahak, sakit kepala,  (batuk yang mengandung darah) dan diare. Komplikasi termasuk sindrom gangguan pernapasan akut, cedera jantung akut dan infeksi bakteri sekunder (Huang, dkk., 2020). Sampai saat ini, jumlah informasi tentang virus ini meningkat setiap hari dan semakin banyak data tentang penularan dan rutenya, , masa inkubasi, gejala dan hasil klinis, termasuk tingkat kelangsungan hidup yang dikumpulkan di seluruh dunia (Corman, dkk., 2020).

Fokus penanganan pandemi COVID-19 di seluruh dunia, mengalihkan perhatian masyarakat dari faktor psikososial yang ditanggung individu sebagai konsekuensi terjadinya pandemi. Masalah Kesehatan mental yang muncul akibat pandemic COVID-19 dapat berkembang menjadi masalah Kesehatan yang berlangsung lama. Status darurat Kesehatan masyarakat yang ditetapkan oleh otoritas Kesehatan dunia dengan melakukan pembatasan sosial dan isolasi mandiri/karantina serta membatasi pergerakan masyarakat akan mempengaruhi Kesehatan mental suatu populasi (Gao et al., 2020; Pfefferbaum & North, 2020; Spoorthy et al., 2020).

Ukuran dampak pandemi COVID-19 terhadap Kesehatan mental belum dapat diukur, namun informasi mengenai dampak pandemic terhadap Kesehatan mental dapat diketahui dari temuan pasien saat wabah MERS-COV pada tahun 2015 di Korea Selatan. Pasien dengan hemodialisis harus menjalani hidupnya dalam kondisi terisolasi dilaporkan mengalami peningkatan nilai level hematokrit, kalsium, dan fosfor setelah dua minggu isolasi. Selain itu, dilaporkan juga adanya peningkatan level sirkulasi  dan . Beberapa indikator tersebut merupakan indikator stres psikofisik pada manusia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karantina saat wabah MERS di Korea Selatan dapat menyebabkan peningkatan level stres pada pasien hemodialisis. Dukungan kesehatan umum dan tindak lanjut harus diberikan bahkan 6 bulan setelah keluar dari isolasi bagi individu dengan status kesehatan mental yang rentan sebelumnya. Para pasien membutuhkan dukungan yang sesuai termasuk makanan, pakaian dan akomodasi, jika diperlukan (Kim et al., 2019)

Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam mewujudkan kesehatan yang menyeluruh. Namun di sebagian besar negara berkembang, masalah kesehatan mental belum diprioritaskan apabila dibandingkan dengan penyakit menular. Regulasi, kebijakan kesehatan mental dan implementasinya di Indonesia masih diikuti oleh kesenjangan yang luas terkait dengan masalah cakupan dan akses pada pelayanannya (Ayuningtyas, dkk., 2018; Ridlo & Zein, 2015). Pada tahun 2020, Hari Kesehatan Mental Sedunia, yang diperingati pada 10 Oktober 2020, mengambil tema .World Health Organization (WHO) menekankan pada konsekuensi yang ditimbulkan saat kehidupan kita yang telah banyak berubah akibat pandemi COVID-19. Penekanan lain adalah mendorong negara-negara di dunia untuk memberikan perhatian lebih pada kesehatan mental. Sebagai salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi, kesehatan mental merupakan salah satu bidang kesehatan masyarakat yang paling terabaikan. Padahal, hampir 1 miliar orang hidup dengan gangguan mental, 3 juta orang meninggal setiap tahun akibat penggunaan alkohol yang berbahaya, dan 1 orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri. Saat ini, miliaran orang di seluruh dunia telah terpengaruh oleh pandemi COVID-19, yang berdampak pada buruknya kondisi kesehatan mental masyarakat (Saxena, 2016; World Health Organization, 2020a).

Situasi pandemi COVID-19 mendorong pembahasan yang lebih serius mengenai masifikasi pelayanan kesehatan mental, sebagai salah satu isu penting di dunia. Gangguan kesehatan mental yang sering tersembunyi dari pandangan sesungguhnya memiliki spektrum yang luas (Mawarpury, dkk., 2018). WHO telah mengidentifikasi kesehatan mental sebagai komponen integral dari penanggulangan COVID-19 (World Health Organization, 2020b). Melihat permasalahan kesehatan mental dalam konteks situasi pandemi COVID-19, maka artikel ini berupaya untuk membahas bagaimana situasi global kebijakan kesehatan mental, serta bagaimana kebijakan dan upaya pemerintah Indonesia merespon beberapa permasalahan yang sedang dan akan terjadi sebagai akibat dari pandemi COVID-19.

Kebijakan kesehatan mental di Indonesia terbilang mengalami kemajuan apabila dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya, meskipun kemajuannya cenderung lambat. Perumusan kebijakan kesehatan mental belum didukung oleh data penunjang yang adekuat, sama halnya seperti yang dialami banyak negara berkembang lainnya. Padahal data yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan yang efektif sehingga pada tingkat pelayanan kesehatan primer dan sekunder upaya penanganan kesehatan mental dapat lebih optimal (Ridlo & Zein, 2015).

Menilik Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menemukan 14 persen keluarga yang melakukan kurungan, dengan 31,5 persen melakukannya dalam 3 bulan terakhir. Data WHO pada 2017 menunjukkan tingkat psikiater 0,31, tingkat perawat kesehatan mental 2,52, dan pekerja sosial menilai 0,17 (semua per 100.000 populasi) mengkonfirmasi kurangnya sumber daya kesehatan mental di Indonesia. (DALY) mencapai 2.463,29 per 100.000 populasi dan tingkat kematian bunuh diri 3,4 tanpa strategi terkait pencegahan bunuh diri ditemukan. Prevalensi nasional depresi di antara orang-orang ≥ 15 tahun mencapai 6,1 persen dengan hanya 9 persen dari mereka yang menerima perawatan dari para profesional (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Peningkatan masalah kesehatan jiwa ini menunjukkan perlunya perhatian khusus terhadap kesehatan mental masyarakat Indonesia.

Seperti di banyak negara lainnya, pandemi COVID-19 membawa banyak perubahan bagi masyarakat. Pandemi COVID-19 dengan transmisi penularan yang masif dan tingkat kematian yang tinggi menyebabkan masalah yang mengarah pada gangguan kesehatan mental. Hal ini disebabkan oleh adanya kebiasaan baru yang wajib dilakukan oleh masyarakat, yaitu melakukan pembatasan sosial. Selain berdampak langsung pada petugas medis dan kesehatan, peningkatan kasus gangguan kesehatan mental juga dirasakan oleh masyarakat. Permasalahan yang sering terjadi diantaranya gejala kecemasan, depresi dan trauma karena COVID-19. Pada Juli 2020, kasus bunuh diri terjadi pada pasien COVID-19 di Surabaya, Jawa Timur dari lantai 6 Rumah Sakit karena depresi dikarenakan pasien tujuh kali melakukan swab dan hasilnya selalu positif terjadi (Antara, 2020; Pebriansyah, 2020). Kasus ini menjelaskan bahwa Pandemi COVID-19 pemicu permasalah kesehatan mental pada tahap yang memprihatinkan

Survei mengenai kesehatan mental melalui swaperiksa yang dihimpun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang dilakukan secara daring menjelaskan bahwa sebanyak 63 persen responden mengalami cemas dan 66 persen responden mengalami depresi akibat pandemi COVID-19. Gejala cemas utama adalah merasa khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebihan, mudah marah, dan sulit rileks. Sementara gejala depresi utama yang muncul adalah gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah, tidak bertenaga, dan kehilangan minat. Lebih lanjut, sebanyak 80 persen responden memiliki gejala stres pasca trauma psikologis karena mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait COVID-19. Gejala stres pasca trauma psikologis berat dialami 46 persen responden, gejala stres pasca trauma psikologis sedang dialami 33 persen responden, gejala stres pasca trauma psikologis ringan dialami 2 persen responden, sementara 19 persen tidak ada gejala. Adapun gejala stres pascatrauma yang menonjol yaitu merasa berjarak dan terpisah dari orang lain serta merasa terus waspada, berhati-hati, dan berjaga-jaga (Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, 2020). Setidaknya terdapat empat faktor risiko utama depresi dari 14 yang umumnya ditemui, yang muncul akibat pandemi COVID-19, yaitu isolasi dan , tekanan ekonomi, stres dan depresi pada tenaga kesehatan dan stigma dan diskriminasi (Thakur & Jain, 2020)

Menjaga jarak fisik () menimbulkan banyak kecemasan masyarakat. Namun pada kasus ini kerentanan terjadi pada masyarakat yang mempunyai risiko depresi dan individu yang hidup dalam kesendirian. Perasaan terasing akibat menjaga jarak sosial dan isolasi mandiri telah mengganggu aktivitas normal (Megatsari, dkk., 2020). Pandemi COVID-19 telah memicu krisis ekonomi global yang kemungkinan akan meningkatkan risiko bunuh diri terkait dengan pengangguran dan tekanan ekonomi. Perasaan ketidakpastian, putus asa, dan tidak berharga meningkatkan angka bunuh diri. Di Kota Tangerang, contohnya, Seorang pemuda berusia 20 tahun bunuh diri diduga karena pekerjaan tempat bekerja tidak beroperasi terdampak situasi pandemi COVID-19 (Singgih, 2020), pertumbuhan ekonomi yang menurun drastis hingga minus 5,32% pada kuartal II 2020 berakibat pada kemungkinan Indonesia masuk ke jurang ekonomi (Bramasta, 2020).

Stres dan trauma pada tenaga kesehatan juga menjadi isu penting di Indonesia. Pengalaman global tentang kasus kesehatan mental di Korea, Singapura, Taiwan dan beberapa negara lainnya membuat pelayanan kesehatan menjadi terganggu (Jeong, dkk., 2016; Kang, dkk., 2020; Park, dkk., 2018). Potensi depresi dan kasus bunuh diri pada tenaga medis dan kesehatan juga seharusnya menjadi prioritas. Selain itu stigma dan diskriminasi juga menjadi bagian lain selain risiko tugas yang harus ditanggung oleh tenaga medis dan kesehatan. Stigma dan diskriminasi ini mempunyai risiko jangka panjang terhadap kesehatan (National Collaborating Centre for Determinants of Health (NCCDH), 2020). Di Indonesia, stigma dan diskriminasi dialami secara nyata, terutama oleh tenaga kesehatan. Bentuk stigma yang dialami antara lain berupa orang-orang sekitar menghindar dan menutup pintu saat melihat perawat, diusir dari tempat tinggal, dilarang naik kendaraan umum, keluarga dikucilkan, dilarang menikahi mereka, dan ancaman diceraikan oleh suami atau istri (””, 2020).

Berdasarkan kebijakan penanggulangan COVID-19 dan sejumlah protokol yang sudah dibuat, maka pemerintah harus mengoptimalisasi integrasi layanan kesehatan mental yang sudah ada dalam sistem kesehatan nasional (Jeong, dkk., 2016; Ridlo & Zein, 2015). Utamanya dengan pendekatan berbasis kesehatan masyarakat dan memperkuat pelayanan kesehatan primer (Megatsari, dkk., 2019). Upaya tersebut dapat memperluas cakupan pelayanan kesehatan mental yang sangat diperlukan utamanya pada masa pandemi COVID-19. Cakupan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat yang berkeadilan akan mendorong kepercayaan publik terhadap penanganan Pandemi COVID-19 (Ayuningtyas, dkk., 2018; Sumiharti & Laksono, 2013; Zein, dkk., 2020).

Kebijakan kesehatan mental merupakan bagian penting dari kebijakan percepatan penanggulangan pandemi COVID-19. Masalah kesehatan mental sangat berkaitan dengan hilangnya produktivitas masyarakat dan juga pengendalian pandemi COVID-19. Jika pemerintah tidak memberikan perhatian yang diperlukan pada isu kesehatan mental, khususnya dalam intergrasi implementasi kebijakan terkait penanggulangan pandemi COVID-19, maka potensi kerugian paskapandemi akan semakin besar. Pemerintah harus mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam layanan berbasis masyarakat sebagai cara untuk memastikan cakupan universal layanan kesehatan mental. Model pemberdayaan partisipatif dan menjadi pilihan yang rasional untuk mengatasi masalah sumber daya dan stigma sebagai penghalang keberhasilan program kesehatan mental di Indonesia.

Penulis: Ilham Akhsanu Ridlo