FKM NEWS- Membahas pro dan kontra Vaksin Aztra Zeneca dari Inggris, Dr. M. Atoillah Isfandiari, dr., M.Kes.  Dosen Epidemiologi memberikan penjelasan bagi publik awam. Pertama, dalam mempertimbangkan kehalalan suatu produk, maka produk itu dikatakan haram bila ada salah satu dari ini: bahannya haram, atau cara membuatnya haram, atau tujuannya haram. Apalagi bila ketiga-tiganya haram.
“Menyoal tujuan pembuatan vaksin sampai tahap sekarang, di tahun 2021 ini, saya kira semua sepakat dan percaya bahwa tidak ada chip di vaksin yang tujuannya untuk memata-matai kita. Emang siapa kita dan sepenting apa kita ini, Sepakat ya? Eh, atau masih ada yang percaya hoaks ini kah?” Ujar Wakil Dekan II FKM Unair ini.
Memahami vaksinasi dalam penanganan Pandemi, publik selayaknya bersepakat bahwa tujuan vaksinasi maupun produksinya tidak ditujukan untuk tujuan haram. Menurut Atoillah, dengan pendekatan kaidah jurisprudensi Islam menurut madzhab Syafi’i yang pertama, yaitu Qo’idah “an-Niyyat”, atau tujuan pembuatan, menurut saya sudah terpenuhi. Kedua, cara pembuatannya. Cara membuat vaksin yang haram adalah misalnya dengan harus membunuh manusia lain. Termasuk, harus mengaborsi janin, sebagaimana isu hoaks yang kencang berhembus.
***
Kedatangan Vaksin AstraZeneca COVID-19 di Bandara Soekarno-Hatta International Airport Jakarta, Indonesia. (Indonesian President Palace via AP)

 

Bagaimana cara pembuatan Vaksin Covid-19 ini?
Bila dikelompokkan, vaksin Covid-19 ini ada yang dibuat dari virus, ada yang “tidak”. Secara umum, kalau vaksin itu dibuat dari virus, mau itu virus yang dilemahkan, atau virus yang di”matikan” (vaksin Sinovac) atau RNA virus pembawa penyakit dimasukkan ke virus lain yang lebih “jinak” alias tidak bikin sakit (vaksin Astra Zeneca), maka pada prosesnya perlu menanam virus itu ke dalam “pot” khusus, yaitu sel yang hidup, karena tanpa sel hidup virus tak akan bisa di fotokopi dalam jumlah banyak dan dipanen.
“Pada tahap ini pastinya tak ada orang yang cukup tidak waras untuk mau menyewakan tubuhnya untuk jadi pot virus ini, sehingga perlu sel “hidup” lain yang tak bertuan untuk jadi pot itu” Ungkap Atoillah menambahkan informasi penting.
Atoillah menggunakan analogi Pot dan tanaman. Kemudian ditambahkan Atoillah bahwa, pilihan untuk “pot” ini jatuh pada sel 293 yang dulu pada dekade 1973-an merupakan sel dari janin yang kemudian dibuat menjadi sel “abadi”. Dan hingga kini, 48 tahun kemudian, sel ini telah diperbanyak dan dipakai di ratusan bahkan ribuan penelitian vaksin, obat, maupun rekayasa genetik. Hal ini menjawab isu hoaks, tak ada ribuan atau jutaan janin yang digunakan untuk memproses jutaan dosis vaksin.
“Perlu digarisbawahi, sel ini hanya untuk “pot” saja, tidak ikut dipakai dan dikemas ke dalam botol-botol vaksin yang akan disuntikkan, karena nantinya yang dipanen hanya virus yang ada di dalam sel tersebut” Tambah Atoillah.
Sehingga kesimpulannya adalah cara membuat vaksin adalah halal. Karena kaidah kedua jurisprudensi Islam menurut madzhab syafi’i, yaitu “Qoidah masyaqqat” atau persyaratan bahwa dalam prosesnya tidak menimbulkan kerugian, kerusakan, juga terpenuhi.
Apakah bahan Vaksin Haram?
Dalam menjawab pertanyaan ini, publik menyoroti bahan pembuatan vaksin yakni porcine. Porcine ini adalah tripsin atau enzim, yang berasal dari pankreas babi. Secara psikologis umat Islam, akan sangat sensitif dengan asal bahan ini. Ini dikarenakan secara syariat Babi dan semua produk turunannya dihukumi Haram. Misalnya, Larangan konsumsi babi dalam Islam bukan karena dagingnya mengandung cacing pita, tapi memang semata-mata untuk menguji ketaatan dan keikhlasan umatnya.
Tapi benarkah vaksin yang dibuat dari virus itu memang “mengandung” porcine, atau “bersinggungan” dengan porcine?
Secara umum proses produksi vaksin ada yang menggunakan porcine, ada yang tidak, semua tergantung pada metode pembuatan vaksin itu sendiri. Ini bisa diuji dan dilihat dari laporan ilmiah proses keseluruhan produksi. Atoillah menggunakan analogi pot dan tanaman.
“Dalam proses bercocok tanam virus untuk nantinya memproduksi vaksin, porcine ini fungsinya secara umum adalah untuk “memperbanyak” pot-pot di atas, sel-sel 293 di atas, dengan cara “memindahkan pot-pot tadi ke ruang-ruang yang lebih luas” agar pot-pot tadi bisa diperbanyak, sementara virus-virusnya berada di dalam sel atau pot tersebut” Atoillah menambahkan penjelasannya.
Dalam analogi lebih sederhana, meskipun tidak terlalu tepat, bisa dibilang porcine ini, tripsin dari pankreas babi ini, adalah “pupuk kandang”.
“Sehingga, pada dasarnya virus-virus yang dibiakkan itu tidak secara langsung berurusan, bersentuhan, atau dipengaruhi oleh porcine, karena virus-virus itu adalah ibarat “buah mangga” yang berada di pohon” lanjut Atoillah.
Dari tahap itu sehingga, pun tanpa membahas soal pengenceran atau dilusi atau istihlak, proses yang mengubah bahan najis jadi suci, apalagi istihalah atau konversi dari bahan haram menjadi halal karena terjadinya perubahan fisik bahan tersebut, pada intinya vaksin ini suci dan halal.
Sehingga menurut Atoillah sebenarnya, belum perlu menerapkan kaedah ketiga dari jurisprudensi Islam menurut madzhab syafi’i yaitu kaidah “dloror” atau kedaruratan dalam membolehkan penggunaan vaksin yang seperti ini, karena prinsip ini adalah meng-halal-kan sesuatu yang pada dasarnya haram bila situasinya darurat. Hal ini dikarenakan memang tidak perlu status darurat itu untuk “boleh” menggunakan vaksin dengan metode yang digunakan oleh oxford (red. Astra Zeneca). Dengan analogi sebelumnya Atoillah mengatakan, virus sebagai bahan baku, vaksin adalah buah mangganya. Sel 293 itu adalah pot-nya, dan tripsin babi itu adalah pupuk kandangnya. Dan proses selanjutnya setelah memanen mangga itu, adalah pembuatan manisan mangganya. Membuat virusnya menjadi vaksin. Tentu saja, anda tidak bisa membuat manisan mangga yang mengandung, apalagi menggunakan pupuk kandang.
———
Reportase ditulis ulang oleh Ilham Akhsanu Ridlo dari linimasa Facebook dengan proses perubahan editorial seperlunya dengan persetujuan Dr. M. Atoillah Isvandiary, dr., M.Kes.